Menonton film ini sambil tiduran, dan berkali-kali berganti posisi duduk-tiduran.
Filmnya bisa dibilang sangat kontemplatif, sangat minim bacot, sekalinya bacot langsung jadi kuot. Karena memang latar belakangnya seorang biksu, yaa jadinya masuk akal aja sedikit bacot, banyak bersabar dan memaafkan, dan yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata mutiara.
Ceritanya bagiku sangatlah sederhana, latar belakang karakternya yang membuat ini menjadi sangat sulit. Awalnya aku berharap ceritanya engga mengarah ke perzinahan dan urusan birahi. Sampai-sampai, ketika si biksu muda mau ngewe beberapa kali nih aku kesel parah, udah lah lu goblok amat sii, sange terus juga..
Eh wait, aku sama sekali ngga sadar kalau si biksu ketika dewasa diperankan si pak sut sendiri, wuadaw.
Siklus kehidupan, itu mungkin yang menjadi garis besar dari film ini, mungkin yaa, sejauh yang aku pahami.
Banyak scene yang keren sih yaa, aku paling suka pas si kakek biksu nulis aksara di lantai pakai ekor kucing, itu nyeni banget, dan hasilnya juga keren parah. Trus sampai sekarang masih wondering apa arti aksara di kertas yang dipakai bunuh diri itu.
Suka juga ketika rumah apungnya perlahan bergerak, ntah tak tau maknanya apa tapi keren aja gitu. Trus ayam yang dipake narik perahu keren juga tuh haha, baru di film ini aku liat. Pokoknya banyak banget hal baru yang bisa ditemuin di film ini.
Pokoknya sebuah sinematik eksperiens yang aneh, tapi menenangkan. Beda sama midsommar yang aneh trus disturbing.
di:
#IndoXXI
No comments:
Post a Comment