Ulasan ini merupakan salinan dari akun letterboxd-ku: letterboxd.com/jayawiguna
Sebuah drama ala visinema dengan kearifan imam syafi'i.
Sebelumnya sempat dapat beberapa bocoran dari angga sasongko mengenai kisah di balik pembuatannya, yang mana katanya setelah diedit ternyata opening maupun ending dari film ini tidak ada yang bisa membuat penonton engage. Sehingga harus dipilih: harus retake opening atau ending. Mereka memutuskan untuk retake bagian ending, alasannya karena: film ini akan tayang di bioskop, ketika penonton bosan dengan opening, sangat kecil kemungkinan penonton akan keluar dan membuang uangnya begitu saja, penonton akan terpaksa mengikuti filmnya meskipun sejak awal sudah membosankan. Karena film panjang, banyak informasi yang bisa diserap penonton, dan informasi yang paling bisa engage di kepala penonton hingga keluar dari gedung bioskop dan menjadi bahan pembicaraan di tongkrongan ialah ending dari filmnya. Sehingga dipilihlah untuk menyelamatkan bagian ending dari film ini.
Kurang lebih seperti itu cerita yang saya dapatkan ketika ikut mentorshipnya angga.
Cerita itu membuat aku jadi punya ekspektasi yang tinggi dengan ending film ini. Dan benar, saya akui opening film ini terlalu membosankan dan terkesan terlalu intelek untuk ditayangkan di Indonesia. Banyak istilah yang belum aku paham dari obrolan-obrolan mereka. Jadi yang aku lakukan adalah menyerap poin yang mau disampaikan dari sequence ini apa sih, apa sih yang terjadi dengan karakter jagoan kita.
Sekitar 30 menit pertama cukup membosankan, yasudahlah yaa. Ketika mendapatkan informasi bahwa si ibu pemaes ini membutuhkan penerus, langsung saja di kepala ini merangkai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan jagoan kita. Kemungkinan yang paling mungkin terjadi dengan jagoan kita di akhir film ini sudah bisa dipastikan di bagian ini. Sehingga bisa dibilang ketika film ini berakhir, tidak ada kejutan lagi. Memang sih tidak ada salahnya dengan film yang alurnya bisa ditebak. Tapi tetap saja, antisipasi dan surprise menjadi pengalaman menonton yang tak bisa tergantikan.
Oke kita lupakan struktur cerita yang cukup biasa ini. Mari memetik hal-hal yang baik dari film ini. Saya mendapatkan beberapa informasi menarik tentang adat pernikahan Jawa. Film ini juga membuat saya berpikir kembali tentang salah satu teman saya yang sempat beropini:
"Kalo di bali sih budaya dan agamanya bisa bonding, tak bertentangan. Beda dengan agama gue (islam) yang tak bisa disatukan dengan budaya (bertentangan)"
Oh no man, buktinya asimilasi (?) / akulturasi (?) bisa terjalin begitu baik di adat Jawa, salah satunya adat pernikahan ini. Saya tidak cukup tau apakah adat ini benar-benar masih diterapkan dengan baik dan tak ada menentang. Ohya juga tentang seorang pemaes harus dari garis keraton. Semoga tetap lestari dan bisa berdampingan dengan budaya-budaya lain yang masuk ya.
Sebagai seorang yang cukup sentimental, film ini bisa aku bilang cukup mempunyai perasaan, dan bisa menyentuh perasaan, terutama di ending. Aku ngga bisa bayangin gimana jadinya kalau endingnya engga di retake, sehingga bisa dibilang itu merupakan keputusan yang tepat.
Sebetulnya adegannya cukup biasa lah ya, aku rasa yang sangat 'mengangkat' film ini yaa soundtracknya, pemilihan lagu monita dan sal pas banget. Cuma ada bagian lagu sal yang engga cukup rapi dan terkesan dipaksakan.
Aku suka posternya, tipografinya, credit titlenya (meskipun tone nya beda dan jomplang dengan filmnya).
Udah, sekian.
Nonton sendiri di kos (01/09) di:
#iflix (trus di pertengahan film pindah ke indoxxi karena engga tahan sama auto ganti resolusi yang ngeselin)
No comments:
Post a Comment