Tak Ada Yang Bahagia di Sutingan Ini, Kecuali Bunga
Mungkin itu satu-satunya kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan proses di balik layar produksi film ini (dan produksi film-film Jaya lainnya).
Di awal semester lalu (semester 6), tepatnya April 2019, saat semua media yang kita ikuti dan gunakan dipenuhi oleh informasi-informasi yang tak pernah lepas dari kata politik. Membuat aku yang tiap harinya selalu berkutat dengan media sosial, ikut kewalahan mengonsumsi segala informasi tersebut. Sempat pulang ke kampung halaman berharap bisa rehat sejenak, tapi media masih menghantui. Remot televisi di rumah ku kuasai untuk sekedar mendapatkan informasi. Racun, hingga menjadi candu, susah rasanya buka sosial media tanpa mengikuti dan mengomentari berita politik.
Mungkin menjadi mahasiswa, khususnya mahasiswa seni, membuatku terpaksa peka, mengikuti, melek, hingga kritis dengan persoalan sosial dan politik di lingkunganku, apalagi tinggal di ibukota. Mau berkarya pun harus terbebani oleh ego dan keinginan untuk menyisipkan isu-isu dan juga kritikan-kritikan pada kebijakan, aparat, pemerintah, instansi, oknum, dll. Padahal di lain sisi, diri ini sadar bahwa cerita tetap bisa dinikmati dan diapresiasi dengan baik, tanpa harus membawa muatan-muatan kritik tersebut.
Sederhananya, film ini menjadi bukti yang bisa merepresentasikan Jaya pada masa itu, masa ketika proses film ini dibuat (berlaku juga untuk film-film Jaya lainnya). Uniknya, ketika film ini berhasil dirampungkan, Jaya sudah sedikit berubah, setidaknya bisa dilihat dari timeline media sosialku, sudah jarang Jaya me-retweet postingan PSI, dan akun-akun berbau politik lainnya.
Rupanya aku tidak bisa berlama-lama menjadi seorang yang melek dengan isu-isu sosial politik dsb tersebut. Atau memang aku tidak bisa berlama-lama menyukai suatu hal/bidang.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa, membuat film adalah sebuah terapi, setidaknya itu berlaku buatku. Membuat film ini seperti detoks alami.
Sedikit trivia, film ini dibuat dalam satu malam, tanpa skenario, yang tertulis hanyalah urutan adegan (treatment). Film ini bisa dibilang merupakan reka ulang dari sebuah kejadian yang benar-benar terjadi. Kompleksitas hubungan kedua karakter kakek di film ini benar-benar terjadi, nyata, dan masih berlangsung hingga sekarang.
Film ini pada awalnya merupakan tumpukan sampah, namun dengan kontemplasi dan tangan dingin Puteri Bunga Melati, film ini jadi berkah. Rasanya butuh satu postingan khusus untuk membahas editing film ini.
Film ini diputarkan pertama kali saat sidang terbuka UTS mata kuliah Penyutradaraan Film Pendek, syukur bisa mendapat respon positif. Hal ini tentu saja diraih karena kerjasama yang baik dari kawan-kawan diantaranya:
Pemain : Jean Marais, Wirman Simago, Jaya Wiguna, Andree Natanegara, Zakiy Musthapa
Produser : Andree Zulkarnain
Sutradara : I Kadek Jaya Wiguna
Penulis : I Kadek Jaya Wiguna, Adinda Junior
Penata Kamera : Zakiy Musthapa (di-hire 2 jam sebelum syuting dimulai)
Perekam Suara : Exelcio Alfa A.J
Editor, Boomer : Puteri Bunga Melati
Production Assistant : Tisya C.C, Ghema Canisya
Equipment : Mars Rental
Film ini hasil kolaborasi FFTV IKJ dengan Kikuk! Films dan Lumut Ijo Production
Dengan bantuan pendanaan dari Eksekutif Produser : I Nengah Kanggo & Ni Nyoman Sri Purnami
Serta bimbingan plus plus di kelas dan setelah editing oleh lord Yandy Laurens
Terima kasih bagi teman-teman yang sudah menonton dan mau memberikan kritik & sarannya.
Astungkara, pada 29 Oktober 2019 saya mendapat kabar bahwa film ini lolos kurasi dan sedang dalam penjurian Festival Film Indonesia 2019 (FFI) untuk diseleksi ke dalam nominasi film cerita pendek terbaik. Saya mohon doa dan dukungan dari teman-teman supaya film ini bisa lolos ke tahap berikutnya.
No comments:
Post a Comment