Wednesday, 20 November 2019

Perjalanan, Melepaskan, Melupakan (Part I)

Hari ini aku bangun siang lagi, lagi. Yang membuatnya berbeda ialah, bangun siang kali ini menjadi sebuah permakluman karena aku memulai tidur ini 5 jam sebelumnya. Tulisan ini seharusnya ditulis secepat mungkin sebelum perasaan ini berubah dan ingatan mulai melemah, begitu juga tulisan-tulisan lainnya yang masih mangkrak dan juga masih ada di dalam pikiran dan belum dimulai sama sekali.

Oke jadi di minggu pagi ini, aku baru sampai di kamar kos sekitar jam setengah 9. Jadi ceritanya semalaman ini aku membagikan waktuku untuk teman, sahabat, rekan, bahkan mungkin sudah kuanggap saudara tapi saudara yang masih banyak awkwardnya.

Bunga namanya, namanya sudah pernah aku sebut di tulisanku sebelumnya karena perkara yang kurang lebih mirip dengan yang terjadi saat ini. Dia adalah perempuan yang selalu mengaku dirinya freak, aneh. Itu kalau dipandang dari sisi dirinya sendiri, tapi kalau aku sendiri melihat dia sebagai pribadi yang unik, cerdas, punya perasaan yang sangat sensitif (ini baru aku sadari beberapa bulan terakhir). Tampangnya sederhana, terlebih dengan pilihan berpakaian yang sangat sederhana, seperti celana pendek, kaos, tas ransel, atau kadang celana panjang khaki, yaa seperti itu berulang. Sebagai teman, kita bisa menghafal pakaian apa aja yang akan dia kenakan dalam seminggu, sebulan, bahkan lebih lama lagi.

Penampilannya yang sederhana ditambah dengan rambut pendek dan kacamata membuatnya sering dikira laki-laki, sering, banget. Ini aku dengar dari dia langsung. Bahkan semalam, ada orang yang mengiranya laki-laki waktu pengecekan sebelum masuk ke venue. Dulu sih aku nganggep mungkin dia engga terlalu mempedulikan pandangan orang terhadap dirinya, tapi karena seringnya ia cerita mengenai hal ini, membuat aku jadi menyimpulkan bahwa sebenarnya selama ini ia kesal sekaligus sedih juga karena orang selalu mengiranya seorang laki-laki. Ia selalu mengatakan, orang-orang akan langsung canggung dan merasa bersalah ketika akhirnya mendengarnya bersuara dan menyadari kalau dirinya seorang perempuan.

Aku rasa dua paragraf ini sudah cukup melelahkan bagiku, karena menceritakan Bunga pasti membutuhkan banyak ruang dan banyak niat tentunya. Karena sekali lagi aku katakan, dia ini orang yang sangat unik, dan aku sama sekali tidak bermaksud untuk sarkas.

***

Bermula dari sehari sebelumnya kami merencanakan pertemuan di fore coffee di wilayah Senayan, untuk menyelesaikan editing film pendek terbaru saya (film remake untuk tugas Bang Sam). Bunga berkabar, katanya ia baru bisa datang setelah jam 2 siang karena ia harus menghadiri pernikahan saudaranya. Alhasil sekitar jam 2 lebih ia berkabar katanya baru berangkat dari Depok menuju Senayan. Aku pun masih leha-leha di kosan, masih bingung dengan apa yang akan aku lakukan (seperti biasanya). Ada niat untuk berangkat duluan kesana, tapi akhirnya bingung mau menentukan harus naik motor sendiri, atau naik grab ke bundaran HI trus naik MRT ke Senayan. Kalau dari segi biaya, tentu saja naik grab dan MRT butuh banyak uang. Tapi kalau bawa motor sendiri, takutnya engga ada parkir.

Singkat cerita, aku iseng chat Bunga untuk menanyakan keberadaannya. Dia sudah sampai di stasiun Senayan rupanya. Aku pun bergegas siap-siap berangkat, tapi dilema harus naik kendaraan apa, masih jadi masalah. Bunga akhirnya mengirimkan foto parkiran di dekat titik temu kami setelah aku tanyakan tentang keberadaan parkir motor disana. Langsung aku memutuskan untuk bawa motor sendiri deh.

Sampai di titik temu, kami saling bertegur sapa dengan gaya canggung khas kami. Aku melihatnya duduk di pojokan dengan laptop di depannya, lalu kain selendang yang mengelilingi lehernya, sesekali dimainkannya. Aku pesen aren latte, dan di meja samping laptopnya aku sudah melihat satu cup americano. Akhirnya Bunga minum kopi, tempo hari aku bilang bahwa americano di fore itu enak, karena pahitnya.

Seperti biasa, kami berdua butuh pemanasan yang cukup lama (bahkan bisa berjam-jam), sebelum akhirnya bisa berbicara dengan intens. Ini selalu terjadi, terlebih karena sekarang cukup jarang kami bertemu dan main. Semuanya baik-baik saja, Bunga menutup projek lain yang sedang dikerjakannya, dia tak ingin kalau orang lain melihat apa yang sedang dikerjakannya. Ia lantas membuka projek kami, dan melanjutkan sedikit editan.

Beberapa jam berlalu, kami sudah menonton hasil editan ini berulang kali, berharap menemukan suatu hal baru yang bisa dieksplorasi lagi, tapi nihil. Sepertinya ini sudah cukup. Bunga hendak menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim karena waktu maghrib telah tiba. Kebetulan saja di kawasan tempat kami bertemu, ada masjid.

Beberapa belas hingga puluh menit menunggu, rupanya ia sudah selesai, hanya saja ia masih duduk di bangku di luar kafe. Aku mengetuk kaca untuk sekedar sapa dan bercanda, tapi tak diresponnya. Nampaknya ia sedang berpikir tentang suatu hal yang penting.

Aku menyadari, ketika seseorang sudah berani berekspresi dan memperlihatkan bagaimana perasaan dan juga moodnya saat itu, maka orang tersebut sudah merasa 'aman' dan juga dekat denganku. Setidaknya itu yang aku rasakan ketika selama ini berteman dengannya. Dulu tidak pernah ia berani menunjukkan wajah kesal, sedih, marah di depanku. Sudah pasti ditutupi dengan trik wajah palsunya. Disana aku tak begitu menyadari, dan tidak berasumsi bahwa ia sedang ada masalah.

Lanjut, ia masuk dan kami sedikit berbincang mengenai film kami. Lapar melanda, kebetulan saja malam minggu jadi kami memutuskan jalan dari kafe hendak mencari makan malam. Trotar Senayan ramai, banget. Seperti biasanya. Seperti biasanya juga, kami jarang berbicara jika tak ada sesuatu yang penting. Itu membuat perjalanan kami tidak jarang hening, benar-benar hening tak ada tukar obrolan apapun dari titik berangkat hingga tujuan.

Baru berjalan beberapa meter dari kafe, aku melihat di kejauhan ada lampu yang biasa aku temui di lokasi syuting. Langsung saja berpikir, oh ini sedang ada syuting. Bunga membenarkan hal itu, ia mengatakan syuting ini berlangsung sejak sore tadi ketika ia berjalan kaki dari stasiun menuju kafe. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk observasi tentang apa-apa saja yang dilakukan orang-orang ini di lokasi syuting, sambil menebak-nebak projek apa yang sedang berlangsung, sekaligus mencari kemungkinan menemukan teman lama barangkali yang pernah satu projek denganku.

Bunga mengatakan ada wajah-wajah familiar yang dilihatnya disana, terutama salah satu kru sound. Aku langsung aja menyisir wajah demi wajah mencari siapapun yang barangkali aku kenal. Ketika sudah melewati keramaian lokasi syuting beberapa meter, seseorang memanggilku, dengan panggilan "we" beberapa kali dengan nada yang keras dan suara yang cukup familiar. Rupanya, Bang Adit dari departemen sound memanggilku. Ia sedang duduk santai sambil menelepon di atas mobil untuk properti. Aku langsung saja menghampirinya, ketika hendak bersalaman, ia langsung melayangkan gestur akan memeluk. Langsung saja aku membalasnya dengan pelukan sambil tepuk-tepuk punggung layaknya orang-orang, hehehe.

Basa basi dimulai, tak lupa aku memperkenalkan Bunga kepadanya. Seperti biasa, orang ini memang banyak bicaranya, banget. Kalau kau punya sifat sepertiku, sudah pasti kau tak akan menemukan celah untuk mulai menceritakan tentang dirimu atau pengalamanmu kepadanya. Karena semua slot sudah diambilnya untuk berbicara mengenai dirinya. Hehe, tidak masalah sih buatku. Seperti biasa aku berperan sebagai pendengar yang baik, dan pelempar pertanyaan-pertanyaan ringan seputar hal yang diceritakannya padaku.

Aku punya penyakit, yaitu penyakit tidak bisa mengakhiri pembicaraan dengan orang lain. Terlebih lagi dengan orang yang seperti Bang Adit ini. Ia banyak sekali, banget, menceritakan tentang pengalaman syutingnya selama ini. Ohya hampir lupa aku mengenalkannya, seorang laki-laki 30an ini pertama kali aku temui di produksi film Target (2018) yang disutradarai oleh Raditya Dika.

Karena merasa tak ada kesempatan untuk mengakhiri pembicaraan ini, aku pun menunggu faktor x yang akan memaksa pembicaraan ini dihentikan. Yaa yang paling dekat ialah, ketika pengambilan gambar akan dimulai.


Tuesday, 12 November 2019

Tak Ada Yang Bahagia di Sutingan Ini, Kecuali Bunga

Tak Ada Yang Bahagia di Sutingan Ini, Kecuali Bunga

Mungkin itu satu-satunya kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan proses di balik layar produksi film ini (dan produksi film-film Jaya lainnya).

Di awal semester lalu (semester 6), tepatnya April 2019, saat semua media yang kita ikuti dan gunakan dipenuhi oleh informasi-informasi yang tak pernah lepas dari kata politik. Membuat aku yang tiap harinya selalu berkutat dengan media sosial, ikut kewalahan mengonsumsi segala informasi tersebut. Sempat pulang ke kampung halaman berharap bisa rehat sejenak, tapi media masih menghantui. Remot televisi di rumah ku kuasai untuk sekedar mendapatkan informasi. Racun, hingga menjadi candu, susah rasanya buka sosial media tanpa mengikuti dan mengomentari berita politik.

Mungkin menjadi mahasiswa, khususnya mahasiswa seni, membuatku terpaksa peka, mengikuti, melek, hingga kritis dengan persoalan sosial dan politik di lingkunganku, apalagi tinggal di ibukota. Mau berkarya pun harus terbebani oleh ego dan keinginan untuk menyisipkan isu-isu dan juga kritikan-kritikan pada kebijakan, aparat, pemerintah, instansi, oknum, dll. Padahal di lain sisi, diri ini sadar bahwa cerita tetap bisa dinikmati dan diapresiasi dengan baik, tanpa harus membawa muatan-muatan kritik tersebut.

Sederhananya, film ini menjadi bukti yang bisa merepresentasikan Jaya pada masa itu, masa ketika proses film ini dibuat (berlaku juga untuk film-film Jaya lainnya). Uniknya, ketika film ini berhasil dirampungkan, Jaya sudah sedikit berubah, setidaknya bisa dilihat dari timeline media sosialku, sudah jarang Jaya me-retweet postingan PSI, dan akun-akun berbau politik lainnya.

Rupanya aku tidak bisa berlama-lama menjadi seorang yang melek dengan isu-isu sosial politik dsb tersebut. Atau memang aku tidak bisa berlama-lama menyukai suatu hal/bidang.

Akhirnya aku menyimpulkan bahwa, membuat film adalah sebuah terapi, setidaknya itu berlaku buatku. Membuat film ini seperti detoks alami.

Sedikit trivia, film ini dibuat dalam satu malam, tanpa skenario, yang tertulis hanyalah urutan adegan (treatment). Film ini bisa dibilang merupakan reka ulang dari sebuah kejadian yang benar-benar terjadi. Kompleksitas hubungan kedua karakter kakek di film ini benar-benar terjadi, nyata, dan masih berlangsung hingga sekarang.

Film ini pada awalnya merupakan tumpukan sampah, namun dengan kontemplasi dan tangan dingin Puteri Bunga Melati, film ini jadi berkah. Rasanya butuh satu postingan khusus untuk membahas editing film ini.


Film ini diputarkan pertama kali saat sidang terbuka UTS mata kuliah Penyutradaraan Film Pendek, syukur bisa mendapat respon positif. Hal ini tentu saja diraih karena kerjasama yang baik dari kawan-kawan diantaranya:

Pemain : Jean Marais, Wirman Simago, Jaya Wiguna, Andree Natanegara, Zakiy Musthapa
Produser : Andree Zulkarnain
Sutradara : I Kadek Jaya Wiguna
Penulis : I Kadek Jaya Wiguna, Adinda Junior
Penata Kamera : Zakiy Musthapa (di-hire 2 jam sebelum syuting dimulai)
Perekam Suara : Exelcio Alfa A.J
Editor, Boomer : Puteri Bunga Melati
Production Assistant : Tisya C.C, Ghema Canisya
Equipment : Mars Rental

Film ini hasil kolaborasi FFTV IKJ dengan Kikuk! Films dan Lumut Ijo Production
Dengan bantuan pendanaan dari Eksekutif Produser : I Nengah Kanggo & Ni Nyoman Sri Purnami

Serta bimbingan plus plus di kelas dan setelah editing oleh lord Yandy Laurens

Terima kasih bagi teman-teman yang sudah menonton dan mau memberikan kritik & sarannya.

Astungkara, pada 29 Oktober 2019 saya mendapat kabar bahwa film ini lolos kurasi dan sedang dalam penjurian Festival Film Indonesia 2019 (FFI) untuk diseleksi ke dalam nominasi film cerita pendek terbaik. Saya mohon doa dan dukungan dari teman-teman supaya film ini bisa lolos ke tahap berikutnya.